Satu tahun pertama menjadi mahasiswa di Belanda – afifhakim.com

Umumnya orang akan mengatakan: “gak terasa ya sekarang sudah tahun ke-2 aja”, “perasaan belum lama dari waktu datang dulu”, “time flies” and lain lain. Hal ini biasanya diungkapkan untuk mengekspresikan betapa cepatnya waktu berlalu, menegaskan bahwa ternyata waktu itu relative. Kalo mengingat kata bapak Albert Einstein, “Time is relative to your frame of reference”. Saya rasa betûl. Saya bisa merasakan betapa cepatnya dari hari ke hari, pekan ke pekan berlalu dengan cepat, apalagi kalo setiap hari diisi kegiatan yang cukup padat sampai-sampai lupa hari, sampai sampai lupa kalo sudah di penghujung tahun.

Lebih dari satu tahun yang lalu saya masih ingat kalo saya carriedima email terfavorit saya sampai sekarang. Email itu berisikan pengumuman seleksi beasiswa StuNed, yang mana saya berhasil menjadi salah satu laureate-nope. Saya masih ingat betul bahwa mimpi saya untuk melanjutkan kuliah di Belanda dengan hangatnya disambut oleh pemerintah Belanda melalui beasiswa ini. Semangat, percaya diri, antusiasme dan semua aura positive saya rasakan diri saya memberikan bahan bakar terefisien untuk memulai perjalanan saya menjadi mahasiswa S2 Teknik Sipil dan Manajemen di University of Twente. Salah satu universitas yang bisa dibilang baik, rumah bagi pembelajar dan salah satu mesin pencetak orang-orang hebat yang sekarang duduk di jabatan-jabatan yang disegani di Belanda (terutama yang saya tau di bidang saya).

Hari ini saya akan sedikit bernostalgia, bercerita, berkontemplasi tentang apa saja yang saya lewati dengan meng-climax momen-momen yang tidak saya lupakan di Belanda. Setiap cerita akan diberi bold text agar memudahkan pembaca (jika ada), untuk membaca tiap-tiap pecahan cerita.

GAK BISA BAHASA ENGGRES

Agustus 2021, saya masih ingat, berjalan kaki dari tempat saya tinggal menuju salah satu gedung di kampus ini. Hari itu adalah hari pertama di mana saya akan bertemu kawan-kawan baru yang tentu bukan hanya dari Indonesia tapi sudah lintas benua. Saya akui di waktu itu (i.e. hari pertama perkenalan dan pengenalan jurusan), bahasa inggris saya sudah memenuhi kriteria tapi karena grogi, saya tidak bisa dengan fleksibelnya berinteraksi dalam bahasa inggris (GAK BISA BAHASA ENGGRESS). Tapi itu belum selesai, saya juga kadang terkendala untuk listen dalam waktu yang cukup lama. Contohnya, dalam perkuliahan, aksen dan logat tiap dosen itu berbeda, belum memahami materinya saja saya harus direpotkan dengan memahami bagaimana dia berbicara dan apa yang dia bicarakan. Tidak heran, kadang saya harus mengulang untuk mendengarkan penjelasan dosen dari rekaman video (thanks to technology). Saya bersyukur 1 tahun ini diberikan banyak pembiasaan baru, kurang dari 2 bulan-an saya bisa membiasakan diri untuk lebih nyaman berinteraksi dengan siapapun. Saya rasa ini hanyalah soal mentality saja, hanya harus membiasakan percaya diri menggunakan bahasa lain selain bahasa yang dulu saya gunakan sehari hari. Kalo kamu pembaca yang berencana kuliah di luar negeri saya yakin kamu juga bisa! Untuk kamu pembaca yang sudah pernah atau sedang berkuliah di luar negeri apakah kita pernah ada di halaman yang sama? hehehe

MANAJEMEN WAKTU

Saya masih ingat dulu sebelum saya ke Belanda, saya tidak benar-benar punya manajemen waktu yang presisi. Waktu kuliah S1 dulu misalnya, saya terbiasa punya catatan control List apa-apa saja yang akan saya lakukan selama sehari. Selepas dari kuliah S1, saya juga masih melakukannya loh waktu menjadi engineer di salah satu perusahaan di Indonesia. saya rasa control List itu cukup efektif untuk memonitor tingkat produktivitas kita.

Namun di Belanda saya belajar lebih dalam menghargai waktu. Di sini semua orang bukan hanya punya control List kegiatan yang dilakukan, tapi mereka terbiasa menggunakan jadwal dari jam sekian sampai jam sekian, contoh dengan menggunakan fasilitas google calendar. Dengan terbiasa melihat kawan-kawan dan semua orang di lingkungan saya, saya akhirnya pun terbiasa menggunakan jadwal dari waktu ke waktu, bahkan ketika saya berpergian pun saya akhirnya juga memasukkannya dalam program. Eits, memang sih terkesannya kurang fleksibel, tapi saya merasakan betapa puasnya apabila kita bisa tertib dan disiplin untuk menyelesaikan tugas dan bisa pergi ke luar untuk menarik napas sebentar sebelum kembali sibuk. Iya ngga? Kamu coba aja.

Oh iya tentang manajemen waktu, sebenarnya bukan hanya soal Planning. Tapi juga soal bagaimana mengatur waktu saat belajar dan yang ingin saya underline di sini sih pada saat ujian. Saya masih ingat saat ujian pertama kali saya merasakan grogi yang cukup hebat, padahal saya sudah persiapan dengan sangat-sangat matang. Namun, apa yang terjadi? Ya pada waktu itu saya tidak bisa me-manage waktu dengan baik, saya hanya fokus ke beberapa soal pertama. Mendetilkan jawaban hingga akhirnya lupa bahwa saya masih punya banyak soal yang harus saya jawab.

Oh iya untuk kalian yang tidak tahu bagaimana bentuk ujian di belanda khususnya jurusan saya (civil engineering and management), model ujiannya itu open questions, maksudnya kita diberikan soal try tentang kasus yang jawabannya tentu tidak bisa copy paste dari buku. Jadi lebih mengutamakan hitungan yang dibarengi penalaran, sehingga, tiap soal biasanya punya jatah waktu pengerjaan yang kurang lebih hampir sama dan saling terkait.

Melanjutkan cerita sebelumnya, akhirnya saya gagal dalam ujian tersebut. Mengharuskan saya mengambil iron (i.e., patch). Dari situ, saya menghambil hikmahnya bahwa memang dalam ujian kita juga harus punya manajemen waktu yang baik, boleh persiapan matang sematang-matangnya. Tapi, kalo mentalitas dan manajemen waktu kita kurang baik kita akan menyeret diri sendiri ke nasib yang tidak kita inginkan.

STUDY-LIFE-BALANCE

Saya merasa jiwa kompetisi saya sudah tidak semeledak-meledak saat kuliah. Sekarang mungkin lebih ke berjuang semampunya dan sekuatnya, tentu berharap hasil yang maksimal, tapi kalaupun tidak sesuai harapan yasudah. Saya melihat study-life-balance adalah sesuatu hal yang penting, meskipun selepas dari saya belajar kuliah mungkin masih belajar sesuatu yang lain sih. Tapi, bagi saya belajar juga bagian dari hidup (i.e., life), eh eh.

Soil of Bicara study-life-balance saya lebih menitik beratkan ke usaha saya untuk berkumpul dengan teman-teman (thanks to teman-teman), mencoba aktif di asosiasi muslim di kota ini (i.e. Enschede), dan berpartisipasi di Youth Water Network (walaupun saya belum banyak berkontribusi di situ). Dari situ setidaknya saya punya kehidupan lain terlepas dari kuliah. Mungkin kalian juga bertanya kenapa saya tidak mencaris part-time work?. Ya siapa sih yang tidak mau merasakan pengalaman kerja paruh waktu di Belanda? Saya sih mau, tapi mungkin saya tidak mempertimbangkan itu karena ingin fokus kuliah dan saya akan mengambil kesempatan bekerja di momen saya sambil mengerjakan tesis nanti. Target saya bukan mendampatkan uang lebihnya, melainkan pengalaman bekerjanya.

Selain daripada hal-hal serius yang sudah saya sebutkan, saya juga beli bola basket dan gitar untuk menemani saya di kala kurang hiburan. Sangat membentu, dan penat setidaknya bisa hilang setelah bermain basket atau gitar. Dari sini kita bisa mengambil hikmah bahwa semua tidak melulu soal uang, dan kalo kita punya suatu kegiatan yang membuat penat, beristirahatlah, berikan waktu untukmu tersenyum dengan menyempatkan diri untuk punya lingkungan di luar kehidupan kuliah.

Saya rasa inilah cerita ringkas tentang satu tahun pertama saya di Belanda. Tentunya masih banyak cerita-cerita yang lain, tapi intisari dari satu tahun kuliah ini saya rasa sudah diwakili oleh 3 cerita di atas. Selanjutnya, saya akan menanjak di medan yang lebih curam mengerjakan tesis, mungkin pindah kota juga. Semua tentu akan terlihat menyeramkan, sampai kita sadar bahwa kita sudah hampir mencapai puncak. Begitu pula yang akan saya lalui, saya yakin Allah akan bersama orang-orang yang berusaha.

Di kereta NS menuju Amsterdam,

Minggu, September 18, 2022

Afif Taufiiqul Hakim

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*